Kenapa Pajak Mobil di Indonesia Bikin Kantong Jebol, Tapi Tetangga Bisa Lebih Murah? Ini Fakta yang Jarang Diungkap
Bayangkan ini: setelah bertahun-tahun nabung, akhirnya lo beli mobil impian. Kilau bodinya masih kinclong, suara mesinnya halus kayak bisikan mantan yang minta balikan.
Tapi belum sempat mikirin mau ganti velg TE37 atau nurunin ceperan, lo disambit realita—“Bro, pajaknya udah harus dibayar, lho.”
Dan bukan main-main, ya. Pajak mobil di Indonesia itu bikin ngelus dada sekaligus ngelus dompet.
Cuma buat jalanin mobil lo di jalanan yang sering bolong, lo harus bayar pajak tahunan, lima tahunan, plus beragam jenis biaya lain yang kadang bikin kepala cenat-cenut.
Tapi tunggu, emangnya negara lain juga kayak gini?
Perbandingan Malaysia vs Indonesia
Mari kita ambil contoh satu mobil sejuta umat: Toyota Avanza 1.5L. Di Malaysia, pajak tahunannya sekitar Rp330.000. Di Indonesia? Bisa tembus Rp4.000.000. Belum lagi biaya perpanjangan lima tahunan yang juga mencekik leher.
Kenapa bisa beda sejauh itu?
Padahal, kalau bicara ekonomi makro, Malaysia secara umum lebih mapan dari Indonesia. Tapi kok justru mereka lebih ramah pajak?
Skema Pajak
Malaysia menetapkan pajak berdasarkan satu hal yang sangat logis: kapasitas mesin (cc). Jadi semakin besar mesin lo, semakin tinggi pajaknya.
Simpel. Transparan. Jelas. Bahkan ada subsidi untuk wilayah-wilayah yang kurang berkembang di Malaysia Timur. Keren, kan?
Sementara di Indonesia…
Pajak mobil ditentukan dari banyak aspek:
- Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB)
- PKB (Pajak Kendaraan Bermotor)
- PPN & PPnBM
- Pajak Progresif (buat lo yang punya mobil lebih dari satu)
- Biaya administrasi dan cetak STNK, TNKB, dan lain-lain
...dan beberapa tambahan "misterius" yang kadang bikin bingung.
Bahkan, nilai PKB seringkali tidak sesuai dengan harga pasar mobil lo sekarang. Mobil lo udah turun harga belasan juta? Di mata Samsat, masih dianggap kayak baru keluar dari showroom. Sakit, kan?
Tapi Malaysia Nggak Sempurna Juga
Tenang, ini bukan puja-puji Malaysia tanpa cela. Karena walaupun pajak mobil mereka lebih murah, di sana asuransi kendaraan itu wajib, dan biayanya juga nggak murah.
Minimal Rp2 juta per tahun, dan itu belum termasuk fitur tambahan kalau lo pengen proteksi maksimal.
Tapi ya, setidaknya uang itu kembali ke pengguna. Kalau lo nyerempet motor dan harus ganti rugi, asuransi bisa bantu lo tetap tenang.
Di Indonesia? Baru nyenggol dikit bisa langsung dikerubutin massa. Niatnya mau tanggung jawab malah dijulidin rame-rame.
Pemerintah Punya Alasan, Tapi Efektivitasnya Patut Dipertanyakan
Pemerintah Indonesia berdalih, pajak kendaraan tinggi itu untuk:
- Mengurangi jumlah kendaraan pribadi
- Mengurangi kemacetan
- Mengurangi polusi
Tapi sayangnya, kenyataan di lapangan lain. Kemacetan makin parah, polusi masih tebal, dan mobil pribadi tetap menjamur. Malah sekarang, yang nggak bayar pajak pun tetap bisa pakai mobilnya, asal nggak ketilang.
Makanya muncullah ancaman-ancaman seperti:
- “Kalau pajak mati lebih dari 2 tahun, kendaraan akan dianggap bodong.”
- “Mobil bisa disita.”
Tapi semua itu masih kayak omong kosong sampai ketentuan itu benar-benar ditegakkan secara merata dan adil.
Kesimpulan
Kalau lo ngerasa pajak kendaraan di Indonesia mahal, ya lo nggak sendirian. Tapi ini bukan ajakan buat kabur dari kewajiban, melainkan ajakan buat berpikir kritis dan menuntut transparansi.
Toh, selama sistemnya tetap seperti sekarang—tumpang tindih, tidak efisien, dan kurang masuk akal—masyarakat juga akan tetap merasa malas bayar pajak. Dan ini bukan salah mereka semata.
Di sisi lain, kita bisa belajar dari negara tetangga, bukan buat iri, tapi buat refleksi. Bahwa ada cara lain mengelola pajak kendaraan yang lebih manusiawi, lebih logis, dan tetap berdampak baik buat negara.
Penutup
Lo bayar pajak? Lo punya hak buat tanya: “Ini uang gue, buat apa aja sih?”
Karena pada akhirnya, kendaraan bukan cuma soal mesin dan bahan bakar.
Kalau lo juga pernah ngerasa kesel pas bayar pajak kendaraan, share pengalaman lo di kolom komentar. Tapi beneran, suara lo bisa jadi bagian dari perubahan.
Posting Komentar